Setelah 15 tahun menjadi khalifah pertama Dinasti Muwahhidun , Abdul Mu’min wafat pada tahun 1163 M dalam perjalanan untuk berjihad ke Andalusia. Akhirnya jenazahnya dibawa kembali ke Thenmala dan dimakamkan di sana bersebelahan dengan sahabatnya, Muhammad bin Tumart .
Semasa hidup saat menjadi khalifah, Abdul Mu’min bin Ali berhasil menguasai wilayah Maroko dan Andalusia yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Dinasti Murabithun. Akan tetapi, keruntuhan Dinasti Murabithun tidak hanya karena berdirinya Dinasti Muwahhidun, melainkan juga karena kerajaan Kristen semakin menguat. Beberapa wilayah muslim yang berada di bawah kuasa Murabithun berhasil direbut oleh kerajaan Kristen.
Sepeninggalan Abdul Mu’min bin Ali, jabatan khalifah otomatis jatuh di tangan putra pertamanya, Muhammad. Namun sayangnya, Muhammad tak memiliki akhlak yang luhur sehingga ia disabotase oleh rakyatnya. Kedudukan ini kemudian berpindah ke adiknya, Yusuf bin Abdul Mu’min bin Ali yang saat itu masih tergolong berusia muda, 22 tahun. Meski karirnya belum sehebat ayahandanya, akan tetapi ia berkarakter gigih dan dermawan.
Sejarawan muslim, az-Zirikli dalam kitabnya, al-A’lam , mengatakan bahwa Yusuf bin Abdul Mu’min adalah sosok yang tangguh, pemberani, mengetahui banyak tentang politik pemerintahan, memiliki pengetahuan tentang ilmu fikih cukup mendalam, dan suka pada ilmu filsafat. Akibat keahliannya dalam bidang ilmu pengetahuan, beberapa ulama sering mengunjunginya, termasuk Walid bin Rusyd, seorang ulama yang berhasil membangun masjid di kota Sevilla. Bahkan namanya dicantumkan pada mata uang dinar Yusfiah di Maroko.
Kepemimpinan Yusuf bin Abdul Mu’min selama 22 tahun (1163-1185 M) mencatat beberapa prestasi baik. Ia cakap dalam mengelola pemerintahan sehingga bisa mengendalikan Maroko dan Andalusia dengan baik. Dalam melawan orang-orang Kristen, ia mengemban amanatnya dengan sangat baik. Namun di balik beberapa sifat terpujinya saat menjadi pemimpin, ia tak jauh berbeda dengan ayahandanya, yaitu memiliki sifat otoriter. Seringkali dalam mengambil keputusan di pemerintahan ia memutuskannya sepihak tanpa melalui jalur musyawarah. Padahal Islam mengedepankan musyawarah.
Pada tahun 1179 M, Yusuf bin Abdul Mu’min wafat dalam peperangan melawan orang-oranng Kristen di kota Centrem, sebelah barat Andalusia akibat kesalahan strategi perang. Mengutip cerita dari sejarawan muslim, ad-Dzahabi, saat Yusuf bin Abdul Mu’min bersama pasukannya menuju kota Centrem yang kala itu sudah dikuasai oleh Kerajaan Kristen, putra Yusuf bernama Ya’qub menyerang kota Centrem secara membabi buta. Terjadi disinformasi antara Ya’qub dan pasukan Dinasti Muwahhidun saat itu. Mereka mengira bahwa pasukan telah diperintahkan oleh Ya’qub untuk merobohkan tenda-tendanya, padahal Ya’qub pun tidak mengetahui hal ini.
Mereka pun menyebrang, bergerak maju, pada saat yang bersamaan, Kerajaan Kristen memukul mundur pasukan muslim sampai ke perkemahan mereka. Pada peristiwa itulah terjadi pembunuhan para tokoh Dinasti Muwahhidun. Yusuf bin Abdul Mu’min tertangkap dan diseret oleh pasukan Kristen lalu dibunuh dengan ditikam bagian bawah pusarnya, beberapa hari kemudian ia wafat. Sementara sisanya yang selamat melarikan diri.
Ilmuwan yang Lahir di Era Yusuf bin Abdul Mu’min
Pertama, Ibn al-‘Awwam. Ia bernama lengkap Zakaria Yahya bin Muhammad yang lahir di Sevilla. Dalam buku karya dr. Raghib as-Sirjani tak disebutkan tahun kelahirannya. Kala itu Sevilla merupakan wilayah pegunungan yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan dan kaya akan hasil pertanian.
Sejak kecil, Ibn al-Awwam menekuni dunia pertanian. Sehingga ia menjadi petani yang ahli dan cermat. Bahkan keahliannya ini melahirkan karya tulis yang khusus membahas ilmu pertanian. Berkat perannya, ilmu pertanian sampai ke dataran Eropa pada abad 12 dan terus dipelajari hingga kini. Karyanya diterjemahkan ke beberapa bahasa untuk dijadikan pedoman bercocok tanam seperti mengolah tanah, memilih bibit, menanam sampai mengairi. Ada satu risalah yang berjudul Uyun al-Haqaiq wa Idhah at-Tharaiq berisi tentang kiat menanam. Sayangnya risalah ini masih berupa manuskrip dan belum diperbanyak. Ibn al-Awwam wafat pada tahun 1185 M.
Kedua adalah Ibn Thufail. Tentu namanya tak asing di kalangan penggiat filsafat. Pemikiran dan karya-karyanya sering menjadi rujukan para penggiat filsafat. Karyanya yang terkenal berjudul Risalah Hayy bin Yaqzhan. Ia bernama lengkap Abu Bakar bin Abdul Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail al-Qisi. Lisanuddin al-Khatib dalam kitabnya, al-Ihathat fi Akhbar Gharnathah menceritakan tentang karakter Ibn Thufail. Ia menyebutkan kalau Ibn Thufail adalah seorang ulama terkemuka, filsuf yang bijaksana, editor karya tulis pada masanya, ahli fikih, dan sastrawan yang hebat. Ibn Thufail adalah sosok yang berperan dalam terwujudnya kesejahteraan pada ilmuwan di era kepemimpinan Yusuf bin Abdul Mumin karena ia yang menyarankan sang Amir untuk berbuat demikian.