Kisah Nabi Muhammad SAW yang Begitu Menghormati Perempuan yang Menyusuinya
Nabi Muhammad SAW begitu menghormati perempuan yang menyusuinya, Halimah As-Sa’diyah. Seperti diketahui, Halimah As-Sa’diyah menyusui Nabi Muhammad SAW kecil selama sekitar dua tahun.
Kisahnya dimulai ketika Halimah binti Abu Dzuaib (Abdullah bin al-Haris) mendatangi kota Mekkah untuk menemui bayi-bayi yang bisa diasuh untuk disusui. Ia datang bersama suami dan anaknya ke Mekkah. Sesampainya disana, ia tidak kunjung mendapatkan orangtua yang bisa menitipkan bayi kepadanya kecuali hanya bayi Muhammad, putra mendiang dari Abdullah dan ibunda Aminah As.
Sebenarnya, memilih untuk merawat anak yang sudah yatim bukan pilihan utama ibu susu manapun di masa itu. Karena di masa lalu, jika mendapatkan jabang bayi dari orangtua yang masih lengkap, maka secara ekonomi bapak dari bayi tersebut juga akan membantu dengan memberikan sejumlah harta.
Namun, Halimah juga merasa kasihan, jika tidak membawa Nabi Muhammad SAW yang masih bayi. Ia pun tetap membawa Nabi Muhammad SAW kembali ke kampungnya, Bani Sa’ad bersama sang suami al-Harits bin ‘Abdu al-‘Uzza. Sebenarnya Halimah sendiri tidak begitu yakin dengan keputusannya. Pasalnya, ia sendiri memang masih memiliki ASI namun tidak cukup banyak jika harus berbagi dengan anak-anaknya sendiri. Sementara tidak jarang anaknya menangis di malam hari dan ibunya tidak bisa memberi ASI karena sudah dalam keadaan kering. Namun, seperti dikisahkan dalam riwayat hadis dalam Shahih Ibn Hibban , Allah justru menganugerahi ASI yang deras dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam keluarga al-Harits tersebut.
Setelah berusia empat tahun, Nabi Muhammad SAW hendak dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Sebenarnya Nabi Muhammad sudah hendak dikembalikan sejak berusia dua tahun. Namun, pernah terjadi suatu wabah di kota Mekkah yang menyebabkan Abdul Muthalib meminta Halimah untuk membawa kembali Muhammad kecil ke kampung mereka, dan bertahanlah Muhammad bersama keluarga al-Harits sampai usia empat tahun.
Ketika sudah dikembalikan kepada ibundanya, dua tahun kemudian Nabi Muhammad SAW kehilangan sang ibu di usia enam tahun yang wafat setelah berziarah ke makam ayahnya. Nabi Muhammad SAW sendiri juga tidak lagi bertemu dengan Halimah As-Sa’diyah dan keluarga al-Harits dalam waktu yang lama sampai terdengar kalau Muhammad menyatakan diangkat oleh Allah Swt. sebagai Rasul.
Halimah kemudian berkesempatan menemui anak yang disusuinya itu di wilayah Ji’ranah, wilayah dekat Mekkah, dan waktu itu baru saja selesai Perang Hunain. Kisah ini diabadikan diantaranya dalam hadis riwayat Abu Dawud yang dikisahkan oleh Abu at-Thufail,
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يقسم لحمًا بالجعرانة. قال أبو الطفيل: وأنا يومئذٍ غلام أحمل عظم الجزور إذ أقبلت امرأة حتى دنت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فبسط لها رداءه فجلست عليه. فقلت: من هي؟ فقالوا: هذه أمه التي أرضعته
“Aku melihat Nabi Muhammad SAW membagi-bagikan daging (bagian dari Ghanimah) di Ji’ranah. Abu At-Thufail berkata: Aku waktu itu adalah anak muda yang sedang memegang tulang unta. Lalu ada seorang wanita datang sampai mendekat ke Nabi Muhammad SAW, lalu Nabi Muhammad SAW membentangkan surbannya sampai lebar dan perempuan itu duduk di hadapan Nabi Muhammad SAW Saya lalu bertanya: beliau siapa? Orang-orang menjawab: itu ibu yang menyusuinya.”
Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam: Teks dan Interpretasi , menjelaskan bahwa di masa lalu, menggelarkan surban untuk duduk diatasnya untuk orang yang menemui kita menunjukkan sebuah penghormatan yang tinggi sekali. Dan Nabi Muhammad SAW memulai sebuah tradisi yang di masa itu sudah banyak dilupakan akibat maraknya perilaku zalim kepada perempuan di masa Jahiliyah, yaitu memberikan kehormatan kepada perempuan, apalagi yang pernah merawat saat kita belia.
Interpretasi yang bisa didapatkan dari hadis tersebut, menurut yang juga penulis buku Qiraah Mubadalah: Relasi Kesalingan Laki-Laki-Prempuan ini juga menjelaskan pentingnya memberikan perhatian yang baik terhadap peran domestik perempuan, termasuk pengembangannya adalah apresiasi secara ekonomi dan sosial. Misalnya, lewat kebijakan untuk memberikan waktu cuti yang lebih banyak terhadap perempuan agar fokus menyusui anaknya jika sang ibu juga bekerja.
Akhirul Kalam, semoga kita senantiasa menghormati siapapun, apalagi yang pernah berperan besar dalam hidup kita, terutama ibu.