Kisah Nabi Ibrahim AS dan Empat Ekor Burung
Nama Ibrahim disebutkan sebanyak 69 kali dalam Al-Qur'an. Kisahnya disebutkan dalam beberapa Surat: Al-Baqarah: 258, 260, Al-An'am: 75-83, Ibrahim: 35-41, Maryam: 41-48, Al-Anbiya': 51-70, Asy-Syu'ara': 69-83, Al-Ankabut: 16-27, dan Ash-Shaffat: 83-98. Ibrahim juga dijadikan nama Surat dalam Al-Qur'an, yakni Surat ke-14.
Nabi Ibrahim termasuk salah satu dari lima Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi, yaitu sebuah gelar khusus bagi golongan Rasul pilihan yang mempunyai ketabahan luar biasa. Kelima Rasul yang mendapatkan gelar itu adalah: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Gelar ulul ‘azmi dijelaskan dalam Surah Al-Ahqaf Ayat 35 dan Asy-Syura Ayat 13.
Nabi Ibrahim diberi gelar Khalilullah atau Kekasih Allah, sebagaimana diabadikan dalam Surat An-Nisa Ayat 125:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayanganNya.”
Para Ulama menjelaskan, gelar Khalilullah ini diberikan karena Nabi Ibrahim selalu mendahulukan perintah Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Hal ini sebagaimana dibuktikan dalam perintah Allah lewat mimpinya untuk menyembelih anaknya, Ismail, yang kemudian diganti dengan seekor domba. Sikap tawakkalnya ditunjukkan ketika ia dibakar oleh Raja Namrud, sehingga api tidak bisa membakarnya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi Ibrahim dilahirkan sekitar tahun 2295 Sebelum Masehi. Menurut Ibnu Katsir dalam Kitabnya “Bidayah wa al-Nihayah”, Nabi Ibrahim lahir di Babilonia, atau Irak sekarang. Riwayat yang masyhur menyebutkan, beliau wafat pada usia 175 tahun.
Tiupan Terompet Sangkakala
Beriman kepada Hari Akhir termasuk di dalamnya adalah beriman pada adanya tiupan Terompet Sangkakala pada Hari Kiamat oleh Malaikat Israfil atas perintah Allah SWT. Namun terdapat perbedaan di kalangan para Ulama, berapa kali tiupan Trompet itu. Ada yang menyebut dua kali, tapi ada juga yang menyebut tiga kali. Di antara ulama yang berpendapat tiga kali adalah Ibnul ‘Arabi, Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani.
Tiupan pertama disebut dengan nafkhotul faza’, yaitu tiupan yang menyebabkan kaget, kepanikan, atau terkejutnya seluruh makhluk. Tiupan ini juga menyebabkan perubahan dan rusaknya keteraturan alam dunia. Tiupan pertama ini ditunjukkan oleh Firman Allah SWT dalam Surat An-Naml Ayat 87.
Tiupan kedua disebut dengan nafkhotu ash-sha’qi, yaitu tiupan yang menyebabkan kematian seluruh makhluk. Tiupan ketiga, disebut nafkhotul ba’tsi wan nusyuur, yaitu tiupan dibangkitkannya seluruh makhluk. Tiupan sangkakala kedua dan ketiga ini ditunjukkan oleh Firman Allah Ta’ala dalam Surat Az-Zumar Ayat 68, dan Surat Yasin Ayat 51. Sedangkan Ulama yang berpendapat dua kali adalah Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Al-Qurthubi dan Ibnu Hajar.
Tiupan Sangkakala pertama disebut nafkhotul faza’ wa ash-sha’qi, yaitu tiupan yang menyebabkan terkejutnya seluruh makhluk sehingga menyebabkan kematian mereka. Menurut Ulama yang berpendapat tiupan sebanyak dua kali, nafkhotul faza’ dan nafkhotu ash-sha’qi ini adalah dua hal yang terjadi dalam satu waktu (satu tiupan), bukan dua tiupan yang terpisah. Artinya, mereka terkejut dan kemudian mati karenanya.
Para ulama yang berpendapat dua kali, berdalil dengan Firman Allah dalam Surat An-Nazi'at Ayat 6-7. Mereka juga berdalil dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA:
مَا بَيْنَ النَّفْخَتَيْنِ أَرْبَعُونَ
“(Jarak) antara dua tiupan adalah empat puluh.” (HR. Bukhari, 4935).
Kisah Nabi Ibrahim dan Empat Ekor Burung
Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 260:
وَاِ ذْ قَا لَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰى ۗ قَا لَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗ قَا لَ بَلٰى وَلٰـكِنْ لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِيْ ۗ قَا لَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗ وَا عْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan Ayat ini menyebutkan beberapa penyebab yang mendorong Nabi Ibrahim bertanya seperti itu; antara lain ketika ia berkata kepada Raja Namrud, yang disitir oleh Firman-Nya:
رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ
“Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan Yang mematikan.” (Al-Baqarah: 258).
Nabi Ibrahim ingin agar pengetahuannya yang berdasarkan keyakinan itu meningkat kepada pengetahuan yang bersifat ‘ainul yaqin, beliau ingin menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri.
Untuk itulah ia berkata dalam Ayat ini:
“Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati. Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, tetapi agar bertambah tetap hati saya.”
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai jenis keempat burung itu. Ibnu Abbas mengatakan, keempat burung tersebut terdiri atas burung garnuq, burung merak, ayam jago, dan burung merpati. Mujahid dan Ikrimah mengatakan bahwa keempat burung tersebut adalah merpati, ayam jago, burung merak, dan burung gagak.
Nabi Ibrahim kemudian menangkap empat ekor burung itu, lalu menyembelihnya, kemudian memotong-motongnya, mencabuti bulu-bulunya, dan mencabik-cabiknya. Setelah itu dicampuradukkan. Kemudian dibagi-bagi menjadi beberapa bagian dan menaruh sebagian darinya pada tiap bukit. Menurut suatu pendapat empat bukit, tapi ada pendapat yang lain, yaitu tujuh bukit.
Ibnu Abbas mengatakan, Nabi Ibrahim memegang kepala keempat burung itu pada tangannya (kepala dari empat ekor burung itu tidak ikut diletakkan di bukit, tapi dipegang oleh Nabi Ibrahim). Kemudian Allah memerintahkan kepada Ibrahim agar memanggil burung-burung itu. Maka Ibrahim memanggil burung-burung itu seperti yang diperintahkan oleh Allah.
Nabi Ibrahim melihat bulu-bulu burung tersebut beterbangan ke arah kepalanya masing-masing, darah beterbangan ke arah darahnya, dan daging beterbangan ke arah dagingnya. Masing-masing bagian dari setiap burung bersatu dengan bagian lainnya, hingga setiap burung utuh kembali, bangkit dan hidup seperti semula.
Setiap bagian burung datang menuju kepalanya yang ada di tangan Nabi Ibrahim. Apabila Nabi Ibrahim mengulurkan kepala yang bukan milik burung yang bersangkutan, burung itu menolak. Tapi jika Nabi Ibrahim mengulurkan kepala yang menjadi milik burung yang bersangkutan, maka menyatulah kepala itu dengan tubuhnya berkat kekuasaan Allah SWT.
Karena itulah dalam Firman selanjutnya disebutkan:
وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Yakni Maha Perkasa, tiada sesuatu pun yang mengalahkan-Nya, dan tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi-Nya. Semua yang dikehendaki-Nya pasti terjadi tanpa ada yang bisa mencegah-Nya.
Semua kejadian itu dapat disaksikan oleh orang-orang yang meminta bukti tersebut.
Profil Keilmuan Nabi Ibrahim AS
Melalui kisah Nabi Ibrahim dan empat ekor burung ini, Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Ibrahim, bagaimana melakukan observasi dan eksperimen untuk membuktikan secara ilmiah bahwa Hari Kebangkitan itu benar adanya.
Kisah ini sangat inspiratif untuk menggunakan metodologi ilmiah dalam rangka membuktikan klaim-klaim kebenaran Islam, sebagai salah satu pintu untuk memperoleh pengetahuan.
Ketika Nabi Ibrahim berdialog dengan Raja Namrud tentang Tuhan, Nabi Ibrahim sedang mengajarkan kekuatan rasionalitas. Demikian juga ketika Nabi Ibrahim meletakkan kapak di tangan berhala yang paling besar, Nabi Ibrahim sedang mengajarkan bagaimana menggunakan kekuatan rasionalitas.
Namun dalam kisah Nabi Ibrahim yang lain, terutama pada pembakaran Nabi Ibrahim, pengetahuan ilmiah dan rasional tidak berfungsi. Sikap tawakkal dan kepasrahan total Nabi Ibrahim yang membuat api tidak bisa membakarnya, tidak bisa dijelaskan secara ilmiah dan rasionalitas manusia.
Demikian juga dalam kisah Nabi Ibrahim harus meninggalkan Siti Hajar dan Ismail kecil di lembah gersang tanpa tempat bernaung, serta dalam drama penyembelihan Ismail, pengetahuan ilmiah dan rasional sama sekali tidak bekerja.
Keseluruhan kisah dalam sejarah Nabi Ibrahim mengajarkan, bahwa selain pengetahuan ilmiah dan rasional, ternyata manusia juga membutuhkan pengetahuan Propetik.
Melalui kisah Nabi Ibrahim, Al-Qur'an sedang mengajarkan Epistemologi atau Filsafat Ilmu, yang membahas tentang sumber, jenis, hierarki dan validitas pengetahuan.