Kisah Abdullah bin Umar Yang Hendak Menghukum Pembantu

Dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Imam Abul Fida’ Isma’il ibnu Katsir mencatat sebuah kisah menarik tentang Sayyidina Abdullah bin Umar dan budaknya, berikut riwayatnya:

أَنَّ خَادِمًا لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَذْنَبَ فَأَرَادَ ابْنُ عُمَرَ أَنْ يُعَاقِبَهُ عَلَى ذَنْبِهِ فَقَالَ: يَا سَيِّدِي أَمَا لَكَ ذَنْبٌ تخاف من الله فيه؟ قال: بلى، قال: بالذي أَمْهَلَكَ لَمَّا أَمْهَلْتَنِي، ثُمَّ أَذْنَبَ الْعَبْدُ ثَانِيًا فَأَرَادَ عُقُوبَتَهُ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَعَفَا عَنْهُ، ثُمَّ أَذْنَبَ الثَّالِثَةَ فَعَاقَبَهُ وَهُوَ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ: مَا لَكَ لم تقل مثل مَا قُلْتَ فِي الْأَوَّلَتَيْنِ؟ فَقَالَ: يَا سَيِّدِي حَيَاءً مِنْ حِلْمِكَ مَعَ تَكْرَارِ جُرْمِي, فَبَكَى ابْنُ عُمَرَ وَقَالَ: أَنَا أَحَقُّ بِالْحَيَاءِ مِنْ رَبِّي، أَنْتَ حرٌّ لِوَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى

Sesungguhnya pembantu (budak) Abdullah bin Umar telah berbuat salah. Abdullah bin Umar berencana menghukumnya atas kesalahannya, kemudian budak itu berkata: “Wahai tuanku, tidakkah tuan pernah melakukan kesalahan yang membuat tuan takut kepada Allah?” Abdullah bin Umar menjawab: “Tentu pernah.” Budak itu berkata: “Demi Zat yang menunda (hukuman) atasmu, maka (kenapa) kau tidak menunda (hukuman)ku?”

Lalu budaknya kembali berbuat salah untuk kedua kalinya. Abdullah bin Umar kembali berencana menghukumnya, maka budaknya mengatakan hal yang sama kepadanya, dan Abdullah bin Umar memaafkannya (kembali). Kemudian budak tersebut mengulangi kesalahannya untuk ketiga kalinya, (kali ini) ia diam saja. Abdullah bin Umar bertanya kepadanya: “Kenapa kau tidak berkata seperti yang kau katakan di dua kesalahanmu terdahulu?”

Budak itu menjawab: “Wahai tuanku, (aku) malu pada kemurahan-hatimu menyikapi kesalahanku yang berulang-ulang.” Kemudian Abdullah bin Umar menangis dan berkata: “Aku lebih berhak untuk malu kepada Tuhanku, kau kubebaskan karena Allah ta’ala.” (Imam Ibnu Katsir, al- Bidâyah wa al-Nihâyah , Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1988, juz 13, h. 205)

****

Tidak ada manusia yang selalu benar. Berbuat salah sudah menjadi kebiasaan manusia sejak dulu. Yang membuat manusia berharga adalah kemampuannya dalam menyesali kesalahannya, dan kehendak dalam memperbaikinya. Persoalannya adalah, terkadang kemampuan menyesali dan kehendak memperbaiki kalah dari kelalaian dan kerakusan. Semakin sering seseorang melakukan kesalahan, semakin mengecil kesadarannya. Beruntunglah budak dalam kisah di atas memiliki tuan seperti Sayyidina Abdullah bin Umar, yang tindakannya selalu bercermin dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .

Artinya, budak tersebut setiap hari melihat pertunjukkan akhlak dan kesalehan yang diamalkan Sayyidina Abdullah bin Umar. Sekeras apapun hatinya, sesering apapun kesalahannya, setiap kali berjumpa tuannya, kesadarannya disegarkan kembali. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan diam, tidak melakukan pembelaaan diri dengan mengatasnamakan Tuhan. Sebelumnya ia selalu mengatasnamakan Tuhan untuk menghindari hukuman tuannya. Ia tahu betul bahwa tuannya sangat takut dan hormat setiap kali nama Tuhan disebut. Ia pun dengan pintar memainkan itu, katanya: “ Wahai tuanku, tidakkah tuan pernah melakukan kesalahan yang membuat tuan takut kepada Allah? ” Sayyidina Abdullah bin Umar menjawab, “ tentu pernah.” Budak itu berkata lagi, “Demi Zat yang menunda (hukuman) atasmu, maka (kenapa) kau tidak menunda (hukuman)ku? ”

Penundaan hukuman yang dilakukan Sayyidina Abdullah bin Umar, bukan berarti ia tidak tahu akal bulus budaknya, ia tahu. Tapi, ketakutan dan pengagungannya kepada Allah jauh lebih besar dari itu. Lagipula, apa yang dikatakan budaknya tidak sepenuhnya salah. Setiap maksiat yang dilakukan manusia, pengadilannya akan dilakukan di akhirat kelak, tidak langsung di dunia ini. Ini juga mengindikasikan bahwa kesalahan yang dilakukan budaknya tidak terlalu besar, mungkin.

Selain itu, bisa jadi Sayyidina Abdullah bin Umar sedang memberi ruang perenungan kepada budaknya. Sebab, tidak mungkin orang bodoh bisa memainkan logikanya sampai berkata, “ Demi Zat yang menunda (hukuman) atasmu, maka (kenapa) kau tidak menunda (hukuman)ku? ” Dari kalimat itu, kita bisa tahu bahwa ia adalah budak yang cerdas. Orang cerdas memiliki kemampuan mencerap pengetahuan lebih tinggi, sehingga ia mudah diajari dengan sikap, teladan dan tindak-tanduk. Bisa jadi ini yang sedang dilakukan putera Khalifah Umar bin Khattab ini.

Tentu saja, kesadaran yang terlahir pada diri budak tersebut tidak dihasilkan secara instan. Tidak sesederhana seperti yang digambarkan kisah di atas, melainkan dihasilkan dari perjumpaan panjang antara kelalaiannya dengan kemurahan hati tuannya. Kemurahan hati yang tidak dicitrakan, tapi berasal dari kepribadiannya yang asli. Kemurahan hati yang tidak pernah membekaskan singgung, tapi meninggalkan jejak kesadaran.

Setiap hari budak itu bergaul dengan Sayyidina Abdullah bin Umar, setiap hari pula ia menyaksikan kontinuitas akhlak dan kesalehan. Karena itu, setiap kali berbuat salah, kemurahan hatinya seakan menampar kesadaran, tanpa harus dimarahi dan dinasihati. Akhlak mulianya memojokkan hatinya. Ia pun resah, hingga perlahan-lahan rasa malunya menguat. Bagaimana tidak, berulang kali ia bersalah, berulang kali pula ia beralasan, tak sekalipun Sayyidina Abdullah bin Umar menampakkan ketidak-sukaan, dan mendaratkan hardikan.

Oleh sebab itu, kata yang digunakan sang budak ketika merasa malu adalah, “ hilmika —kemurahan hatimu/toleransimu.” Artinya, selama ia mengabdi kepada Sayyidina Abdullah bin Umar, ia tidak pernah diperlakukan buruk; ia tidak pernah dihardik; ia tidak pernah dicemooh. Setiap kali ia bersalah, tanpa basa-basi, Sayyidina Abdullah bin Umar berkeinginan langsung menghukumnya. Tapi, karena budak tersebut mengetahui kemurahan hati Sayyidina Abdullah bin Umar, ia dengan santai mengajukan keberatan dan alasan. Andai Sayyidina Abdullah bin Umar orang yang keras, tentu budaknya tidak akan berani membela diri, apalagi keberatan dengan hukuman yang diberikan.

Ya, kita memang tidak tahu hukuman seperti apa yang hendak diberikan Sayyidina Abdullah bin Umar, dan kesalahan apa yang dilakukan budaknya. Kita hanya bisa mengira-ngira yang belum pasti kebenarannya. Tapi yang pasti, keberanian seorang budak mengajukan keberatan dan alasan adalah bukti, bahwa keluhuran pekerti dan kemurahan hati kerap kali dimanfaatkan, seperti seorang murid yang enggan menghafal karena tahu gurunya terlalu baik untuk menghukumnya. Namun, kemurahan hati yang tidak dicitrakan dan tulus, pada akhirnya akan memberi dampak besar bagi orang di sekitarnya. Karena sebenarnya ia tahu sedang dipandang remeh dan dimanfaatkan. Oleh sebab itu, ia memberinya ruang untuk merenung dan bertafakur.

Setelah budaknya berhasil melintasi jembatan kelalaian, dan berujar malu karena kemurahan hatinya, Sayyidina Abdullah bin Umar justru menangis dan berkata, ia yang lebih berhak malu kepada Allah. “Berhak malu” di sini bisa dipahami sebagai penyesalannya karena terlambat mengenali perubahan budaknya, ia pun memerdekakannya saat itu juga.