Seorang laki-laki mendatangi Umar bin Khattab untuk menyelesaikan masalahnya. “Wahai, Amirul Mu'minin,” katanya. “Putriku telah melakukan suatu pelanggaran yang seharusnya mendapat hukuman dari Allah.”

Umar bin Khattab mendengarkannya dengan seksama.

“Dia mengambil pedang dengan maksud bunuh diri,” kata lelaki itu selanjutnya. “Bahkan kami menemukannya telah memotong sebagian urat nadinya. Lalu kami obati putriku itu sampai sembuh.”

“Setelah itu,” lanjutnya, “dia bertaubat dengan baik. Sekarang dia dipinang oleh seorang laki-laki dari suatu kaum. Perlukah kuceritakan kepada mereka peristiwa yang dialami putriku itu?”|

Memang, pada masa itu, banyak sekali orang saleh. Lelaki itu misalnya, dia tidak ingin lelaki yang meminang putrinya menyesal kemudian. Jadi, pasti akan melukai lelaki itu. Dan inilah dia meminta pendapat pemimpinnya.

Umar pun menjawab, “Apakah kamu mau membangkit-bangkitkan apa yang ditutupi Allah lalu menyebarluaskannya?”

Demi Allah,” lanjut Umar, “sekiranya kamu kemukakan rahasia ini kepada siapapun, pastilah aku hukum kamu untuk menjadi cermin perbandingan bagi penduduk negeri ini! Pergilah kamu dan nikahkanlah dia sebagaimana seorang wanita Islam yang masih terpelihara kehormatannya.”

(Berbeda pada masa sekarang ini, Aib dalam Ghibah, di mana aib masa lalu dan aib orang begitu mudahnya diumbar. Ghibah ada di mana-mana.)